Sabtu, 03 Januari 2009

PERILAKU YANG MENUAI KRISIS

Tidak dapat dipungkiri bahwa dampak krisis ekonomi global telah meluluh lantakan kejayaan suatu negara raksasa yang gelombangnya semakin menjulang di negara-negara besar lainnya dan bahkan lebih parah di Negara dunia ke tiga. Perusahaan-perusahaan raksasa yang sudah berdiri puluhan tahun yang lalu dengan kekuatan modalnya yang luar biasa akhirnya collapse oleh terpaan krisis global. Sekarang masing-masing Negara mulai memproteksi dirinya sendiri dengan menggalakkan ekonomi domestiknya ketimbang melakukan ekspor seperti yang selama ini terjadi untuk menunjukkan hegemoninya.

Tidak lama lagi akan ada jeritan di negara-negara yang hidupnya mengandalkan ekspor karena negara tujuan ekspornya sudah menutup diri demi keselamatan warga Negaranya sendiri. Akan ada pemutusan hubungan kerja besar-besaran karena produk usahanya tidak dapat terjual, akan muncul kemiskinan, kelaparan dalam jumlah ratusan juta orang di dunia, dan sebagai dampaknya akan muncul kekerasan dimana-mana.

Timbul pertanyaan, adakah peran peralatan senjata strategis yang selama ini dibangun oleh Negara-negara maju sebagai lambang pertahanan mampu menahan masalah global yang dihadapi sekarang. Sama sekali tidak. Peralatan senjata strategis itu tidak memiliki perannya apa-apa. Kecuali untuk Israel dan Palestina dan Taliban di Afganistan yang saat ini sedang berperang hancur-hancuran.

Disisi lain, biaya dan pengurasan sumber daya alam yang dipakai untuk membangun senjata penghancur tersebut sudah demikian raksasanya, belum lagi memikirkan potensi kehancuran dan kerusakan umat manusia dan bumi yang akan ditimbulkannya. Tingginya jumlah penduduk dan perkembangan teknologi industri telah pula menjadi sumber terjadinya kerusakan lingkungan yang hebat yang dapat mengancam kesejahteraan dan kesehatan hidup. Lalu apa arti kemakmuran ekonomi dan kekuatan pertahanan yang dielu-elukan selama ini kalau harus berakhir dengan kehancuran seperti yang terjadi saat ini, dibanding dengan kerusakan hidup dan lingkungan yang ditimbulkannya?

Krisis global yang dihadapi sekarang sudah sangat komplek dan multidimensional, yang menyentuh berbagai aspek kehidupan seperti kesehatan dan mata pencarian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik, sesungguhnya telah dipicu oleh krisis yang berdimensi intelektual, moral dan spiritual yang mempengaruhi perilaku seseorang. Gerakan perilaku bersaing di atas perilaku kerjasama telah menunjukkan tendensi penonjolan diri dalam masyarakat.. Pengikut Darwin dalam ilmu sosial pada abad ke sembilan belas percaya bahwa semua kehidupan dalam masyarakat harus berjuang untuk bereksistensi yang diatur oleh hukum ”social of the fittest.” Dan yang lebih galaknya persaingan dianggap sebagai pendorong ekonomi yang telah mendorong dunia usaha melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan menciptakan pola-pola konsumsi bersaing.

Pernyataan Descartes yang terkenal ”cogito, ergo sum” yang artinya ”saya berpikir maka saya ada” telah mendorong dunia Barat mengklaim identitas diri mereka sebagai orang yang berpikiran rasional dan bukan sebagai sebagai organisme yang hidup. Pikiran materialistis inilah yang membawa manusia pada sikap yang menyatakan bahwa alam semesta sebagai sebuah sistem mekanis saja yang terdiri dari benda-benda terpisah yang nantinya direduksi menjadi balok-balok bangunan yang sifat dan interaksinya akan sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan ini dikenal dengan pandangan Cartesian dan telah menyebabkan eksploitasi sumber daya alam. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah dan pada pikiran rasional analitis telah menimbulkan sikap anti ekologis yang menuai kerusakan lingkungan.

Oleh karena itu dalam kondisi kehidupan dan lingkungan yang semakin rusak ini, pandangan yang tertuju pada kesadaran ekologis sangat mutlak diperlukan. Kesadaran ekologis akan memadukan pengetahuan rasional dengan intuisi lingkungan yang dapat menjadi suatu perilaku yang beretika atau disebut juga etika lingkungan.

Sanggupkan kehidupan yang beretika terhadap lingkungan dapat mengurangi kerusakan lingkungan? Hal ini jelas sekali, apalagi bila kita dapat melihat bumi ini sebagai organisme hidup sebagaimana dikatakan Carolyn Merchant pada abad pertengahan, yang dikutip dari buku Titik Balik Peradaban karangan Fritjof Capra:
Gambaran bumi sebagai organisme hidup dan ibu susuan berfungsi sebagai hambatan budaya yang membatasi tindakan manusia. Seseorang tidak akan mudah menyembelih ibunya, menggali isi perutnya untuk mendapatkan emas, atau merusak tubuhnya... Selama bumi dianggap hidup dan berperasaan, melakukan tindakan yang merusak bumi dianggap suatu pelanggaran terhadap perilaku etis manusia.

Sayang pandangan ini akhirnya hilang dan diganti oleh pandangan Descartes yang menyatakan alam semesta sebuah sistem mekanis telah memberi persetujuan ilmiah pada manipulasi dan eksploitasi yang telah menjadi karakter budaya Barat.

Krisis global telah menunjukkan bukti bahwa bumi telah bereaksi terhadap sistem mekanis yang masih banyak berlaku saat ini. Untuk kembali kepada pandangan bahwa bumi sebagai organisme hidup telah mustahil dapat dilakukan tanpa perubahan perilaku manusia secara menyeluruh. Ketidak sediaan negara adidaya untuk meratifikasi Protokol Kyoto telah menunjukkan ketidak sepakatan untuk merubah perilaku manusia terhadap bumi. Adanya kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan yang ingin menguasai bumi atau sebagian bumi hanya akan mempertahankan perilaku yang dapat mencabik-cabik peradaban di atas bumi karena perjuangannya akan selalu disertai dengan kekerasan. Kebencian yang dikembangkan dan hegemoni yang dipertahankan hanya akan terus mendorong pada kehidupan yang meneggangkan. Bumi akan berubah menjadi kancah peperangan, kekerasan, kebencian, padahal menurut penciptanya bumi ini adalah tempat manusia hidup dan menerima berkat Tuhan sehingga ia dapat bersyukur dan menikmatinya, atau sering diistilahkan sebagai bermanja.
Penulis merasa yakin bahwa krisis yang berdimensi intelektual, moral dan spiritual ini dapat diatasi dalam semangat memberi, memberi kepada kehidupan, tanpa memandang bulu, bukan sebaliknya sikap yang selalu menanti atau bahkan mengambil.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar