Kamis, 27 Mei 2010

Bertambah Seorang Professional Nuklir Indonesia Bekerja di IAEA.


Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA) yang berkedudukan di Vienna, Austria, telah menerima seorang lagi professional nuklir Indonesia bekerja sebagai staf professional, P4, yaitu Bapak Dr. Muhammad Hadid Subki. Foto ini diambil di ruang kerja penulis (Dr. Jupiter Sitorus Pane) bersama Bapak Dr. Muhammad Hadid Subki dan seorang staf professional lainnya yang bekerja di Unit Nuclear Knowledge Management Dr. Keiko Hanamitsu dan beliau mengenal Bapak Hadid sejak masih kuliah di Jepang. Bapak Hadid pernah bekerja di BATAN kemudian melanjutkan bekerja sebagai Senior Engineer di Mitsubishi Heavy Industry Ltd, Jepang. Pengalaman beliau yang cukup panjang di dunia nuklir membuat beliau layak diterima menjadi staf P4 di Seksi Pengembangan Teknologi Tenaga Nuklir (Nuclear Power Technology Development), Division of Nuclear Power, Department of Nuclear Energy, IAEA. Beliau ditugaskan oleh Dr. Atambir Rao (Section Head) untuk memimpin kegiatan pengembangan Reaktor Daya Kecil dan Menengah (Small Medium Sized Reactor ) dan Feasibility Study. Dengan demikian pofesional nuklir Indonesia yang bekerja di IAEA saat ini ada sebanyak 6 orang di Departemen Safeguard, 2 orang di Departemen Energy Nuklir, dan 1 orang general staff di Departemen Kerjasama Teknik. Dapat dikatakan hampir setiap minggu rata-rata 2-3 orang professional nuklir Indonesia datang ke IAEA untuk menghadiri Conference, Seminar, Technical Meeting, Consultancy Meeting, baik sebagai peserta maupun sebagai narasumber. Pada tanggal 17-21 May 2010 hadir Bapak Deputi Kepala BAPETEN, Bapak Martua Sinaga, Dr. Djarot W, Kepala Pusat Teknologi Limbah Radiasi BATAN dan Bapak Khairul membawakan makalah dalam Seminar di IAEA. Semoga keterlibatan professional nuklir Indonesia di IAEA dapat memberi sumbangan yang berarti bagi kemajuan perkembangan teknologi nuklir di Indonesia, khususnya dalam rangka mempersiapkan pembangunan PLTN pertama di Indonesia. Read More...

Jumat, 21 Mei 2010

Menyimak Pertemuan Teknis Produksi Hidrogen


Pertemuan teknis “Prospek Produksi Hidrogen Menggunakan Elektrolisa Suhu Rendah dan Suhu Tinggi baru saja berlangsung pada tanggal 17-19 May 2010. Pertemuan ini dihadiri oleh Negara-negara seperti Canada, China, Perancis, India, Italy, Pakistan, Rusia, USA, OECD. Pertemuan ini membahas secara teknis perkembangan teknologi pemanfaatan reaktor daya atau PLTN baik skala kecil-menengah maupun skala besar untuk mengahasilkan hidrogen. Produksi hydrogen ini dapat dihasil dengan cara elektrolisis, siklus termokimia, dan siklus yang dikenal dengan nama siklus Tokyo University yang mengandalkan empat langkah reaksi. Untuk cara elektrolisis diperlukan energi baik rendah maupun tinggi dan dalam hal diperlukan energi tinggi maka diperlukan suatu jenis reaktor nuklir yang berdaya tinggi pula, seperti HTGR (High Temperature Gas Cooled Reactor).
Keberhasilan untuk melakukan produksi hydrogen dengan menggunaan PLTN sesungguhnya masih jauh dari sudut implementasi, akan tetapi selama pertemuan terlihat semangat para peneliti dan perancang untuk dapat mewujudkannya. Akan kah ini tercapai mari kita tunggu hasilnya. Namun yang menarik adalah bagaimana suatu organisasi internasional IAEA dapat memfasilitasi suatu penelitian yang akan dimanfaatkan untuk tujuan damai dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Hal yang sama juga berlaku terhadap penelitian-penelitian yang terkait dengan pembangkit listrik tenaga nuklir atau dikenal dengan nama PLTN dimana berbagai dokumen berupa petunjuk teknis, dokumen teknis, code and standard, safety series, safeguards, emergency preparedness, physical protection, laporan-laporan pertemuan teknis dan lain-lain telah disusun dan disebarluaskan untuk menjamin pembangunan dan pengoperasian PLTN yang aman dan selamat. Masihkah kita meragukan akan keselamatan PLTN? Menurut saya tidak perlu ragu, tetapi dalam rangka kehati-hatian perlu tetap diterapkan evaluasi dan monitoring melalui pertemuan-pertemuan teknis maupun pemeriksaan lapangan. Mari terus berinovasi untuk menggunakan sumber energi bertenaga nuklir dengan tetap menyimak pada perkembangan teknologi saat ini, termasuk penggunaannya untuk keperluan lain di luar kelistrikan.
Read More...

Jumat, 14 Mei 2010

Nuclear a competitive energy option, study shows

Adopted from: http://www.world-nuclear-news.org/EE-Nuclear_a_competitive_energy_option_study_shows-2503104.html (25 March 2010)


Nuclear energy is a highly competitive energy option for the production of baseload electricity, the OECD's Nuclear Energy Agency (NEA) and the International Energy Agency (IEA) have concluded in their latest joint study into generating costs.

The report, Projected Costs of Generating Electricity, is the seventh in a series of such studies and was released today in Paris by IEA executive director Nobuo Tanaka and NEA director-general Luis Echavarri. It comprises the latest data for 190 power plants from 17 OECD countries as well as from Brazil, China, Russia and South Africa on the costs of electricity generation for a wide variety of fuels and technologies, including coal (with and without carbon capture), natural gas, nuclear, hydro, on-shore and off-shore wind, solar, biomass, wave, tidal and combined heat and power (CHP).
The analysis was closely overseen by an international expert group on electricity generating costs with more than 50 representatives from 19 OECD member countries, the European Commission and the International Atomic Energy Agency (IAEA). Experts from Brazil, India and Russia also participated.

Assuming a carbon price of $30 per tonne of carbon dioxide (CO2), the study provides results for two real interest rates of 5% and 10%. When financing costs are low (5%), nuclear energy followed by coal with carbon capture are the most competitive solutions. With higher financing costs (10% case), coal-fired generation followed by coal with carbon capture and gas-fired combined cycle turbines (CCGTs) are the cheapest sources of electricity.

The cost of capital "is essentially a function of the risk faced by each option for generating electricity - market risk, technology risk, construction and regulatory risk," says the publication. It adds, "With their high capital costs, low-carbon technologies such as nuclear, renewables and carbon capture and storage (CCS) are particularly vulnerable. Smart government action, however, can do much to reduce these risks."

With regards nuclear energy, the study says it "delivers significant amounts of very low-carbon baseload electricity at stable costs over time." However, it notes that nuclear must "manage high amounts of capital at risk as well as the cost of decommissioning and waste disposal together with social concerns about safety and proliferation."

The price of carbon is a decisive factor in the competition between conventional fossil-fuel and low-carbon technologies, the IEA and NEA say. Coal, the study notes, is competitive "in the absence of a sufficiently high carbon price."

The study concludes that "nuclear, coal, gas and, where local conditions are favourable, hydro and wind, are now fairly competitive generation technologies for baseload power generation." However, it adds that "their precise cost competitiveness depends more than anything on the local characteristics of each particular market and their associated cost of financing, as well as CO2 and fossil fuel prices."

The IEA and NEA suggest that "there is no technology that has a clear overall advantage globally or even regionally. Each one of these technologies has potentially decisive strengths and weaknesses." They add, "The future is likely to see healthy competition between these different technologies, competition that will be decided according to national preferences and local comparative advantages."

Launching the report, Echavarri commented: "In a period when many countries are looking to invest in electricity capacity while working to reduce carbon emissions, it provides an indispensable basis for any discussion about electricity generation choices."

Tanaka added, "To bolster competitiveness of low-carbon technologies such as nuclear, renewables and CCS, we need strong government action to lower the cost of financing and a significant CO2 price signal to be internalised in power markets."

Welcoming the conclusions of the study, Santiago San Antonio, director general of Foratom, the trade body for the European nuclear power industry, said: "The results of this study confirm that nuclear energy plays - and will continue to play - a vital role in Europe's energy mix. Its findings support the option that has been chosen by an increasing number of countries across Europe to extend the operational duration of their nuclear power plants or invest in nuclear new build."

Researched and written
by World Nuclear News
Read More...

Rabu, 05 Mei 2010

Govt gives go-ahead for nuclear power plant by 2021

By LESTER KONG


KUALA LUMPUR: The Government has approved the setting up of a nuclear power plant, slated to start operating from 2021.

Energy, Green Technology and Water Minister Datuk Seri Peter Chin Fah Kui said his ministry has been given the go-ahead by the Economic Council to start identifying suitable sites.

Declining to reveal the possible sites and the total power deliverable, Chin said the nuclear plant needed to be built in an area with high power demand.

"Building of the first plant needs a lead time of at least 10 years.

"We need to look at the safety aspects, human resources and the location," he said, adding that the International Atomic Energy Agency had the final say on whether the plant could be built. Technology know-how and providers may possibly come from South Korea, China, France or Japan, he added.

He stressed that a nuclear plant was sorely needed to meet the country's accelerating energy needs and ensured its energy security.

"Nuclear energy is the only viable option toward our long term energy needs.

"Our energy mix is rather unhealthy. We are depending too much on coal and oil," he told reporters after launching the first Carbon Neutral Conference on Sustainable Buildings South East Asia on Tuesday.

Chin stressed that despite nuclear energy's astronomical start-up costs, it was more cost- and energy-efficient than dotting the country with coal-fired power plants.

On the political fallout from building a nuclear plant, Chin said the Government would be ready to explain to the people the need for one.

He added that the Government would (would not?? typo?) approve a project that was not good for the country..


The original news can be seen from http://thestar.com.my/news/story.asp?file=/2010/5/4/nation/20100504145101&sec=nation
Read More...

Minggu, 02 Mei 2010

PENUGASAN KEDUA DI INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY

Tidak disadari bahwa penugasan kedua kami di IAEA (International Atomic Energy Agency) sudah harus dimulai terhitung tanggal 1 May 2010 sampai 31 Desember 2010 setelah selama 4 bulan berselang dari penugasan pertama yaitu dari tanngal 1 May 2009 s/d 31 Desember 2009. Dalam penugasan pertama kegiatan utama kami adalah menjembatani Evaluasi infrastruktur Nuklir Nasional fase 1 antara Tim BATAN yang bekerjasama dengan berbagai Departemen dan institusi lain terkait dengan Tim ahli di IAEA sekaligus melaksanakan tugas lain di divisi Tenaga Nuklir, Departemen Energi Nuklir, IAEA. Hasil akhir kegiatan ini adalah terlaksananya review terpadu infrastruktur nuklir (Integrated Nuclear Infrastructure Review) terhadap 19 isu infrastruktur di Indonesia oleh Tim ahli dari IAEA. Termasuk dalam ke 19 isu infrastruktur tersebut adalah posisi nasional terhadap program nuklir, keselamatan nuklir, manajemen, pendanaan dan pembiayaan, kerangka hukum, safeguard atau pengamanan bahan nuklir, kerangka pengawasan atau regulasi, proteksi radiasi, jaringan listrik pengembangan sumber daya manusia, keterlibatan pemangku kepentingan, tapak dan fasilitas pendukung, proteksi terhadap lingkungan, rencana penanggulangan kedaruratan, keamanan dan proteksi fisik, daur bahan bakar nuklir, limbah radioaktif, keterlibatan industri, dan pengadaan. Berdasarkan review tersebut ada dua isu infrastruktur yang masih cukup penting dilakukan untuk fase pertama yaitu isu posisi nasional terhadap program nuklir dimana belum ada keputusan pemerintah RI untuk “Go Nuclear,”dan isu keterlibatan pemangku kepentingan dalam bentuk penerimaan masyarakat. Sedang pada penugasan kedua ini, kegiatan utama yang akan kami lakukan adalah menjembatani pelaksanaan studi kelayakan pemanfaatan PLTN skala kecil, menengah dan besar di Propinsi Bangka Belitung antara tim BATAN bekerja sama dengan Pemda Bangka Belitung dengan tim ahli di IAEA, disamping tugas lain untuk melanjutkan penyiapan infrastruktur fase 2 dengan target adalah terlaksananya penawaran lelang pembangunan PLTN kepada pihak vendor atau pemasok teknologi sekaligus melakukan evaluasi terhadap status teknologi PLTN saat ini dan masa depan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pemilihan jenis PLTN yang akan kita gunakan.
Hal yang cukup memberi semangat dalam pelaksanaan tugas kedua ini adalah adanya perkembangan pandangan yang cukup positif di kalangan masyarakat dan pemerintah tentang kebutuhan energi alternatif, khususnya energi nuklir. Pemerintah daerah propinsi Bangka Belitung telah menggagas penggunaan energi nuklir untuk mendukung pembagunan daerahnya di masa depan dan bahkan berencana untuk menjadikan propinsi Bangka Belitung sebagai lumbung energi yang modern dan murah. Demikian pula dari sisi pemerintah, President telah mengeluarkan instruksi President No. 1/2010 tentang percepatan pembangunan nasional yang satu diantaranya termasuk percepatan pembangunan PLTN dengan menugaskan BATAN dan Kementrian Riset dan Teknologi untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat pada tahun 2010 ini. Respon cepat terhadap perkembangan ini telah dilakukan oleh BATAN dengan menyusun Blue Print percepatan pembangunan PLTN dan menyampaikannya ke Bapenas.
Tentu perkembangan ini tidak akan demikian saja berjalan dengan mudah, pasti timbul berbagai pertanyaan apa benar Indonesia sudah siap akan melangkah ke PLTN? Pertanyaan merupakan pertanyaan sudah terlontar sejak tahun 1972 yaitu saat rencana pembangunan PLTN pertama sekali di programkan di BATAN dan hingga saat ini dan mungkin akan terus menjadi pertanyaan. Yang diperlukan saat ini bukanlah pertanyaan itu sendiri tetapi memberi jawaban terhadap pertanyaan tersebut dengan memulai membangun PLTN mengikuti pengalaman 30 negara di dunia dengan 436 unit PLTN terpasang.
BATAN, instansi dimana kami bekerja, adalah sebagai lembaga promosi yang bertugas memberi keyakinan bahwa PLTN layak secara teknologi untuk dibangun dan akan memberi keuntungan ekonomi bagi masyarakatnya sekaligus turut mempertahankan keberlanjutan ketersediaan energi untuk pembangunan nasional bersama dengan sumber energy lainnya. Sedang tugas pemerintah dan masyarakat adalah memutuskan untuk memanfaatkannya. Itu sebabnya BATAN sebagai pelayan masyarakat di bidang pemanfaatan teknologi nuklir tidak henti-hentinya berusaha memasyarakatkan pemanfaatan teknologi nuklir sebagai salah satu solusi energi masa depan dengan cermat dan bertanggung jawab.
Menyadari posisi jumlah penduduk keempat terbesar di dunia setelah China, India dan USA rasanya tidaklah salah kalau Indonesiapun akan memerlukan energi yang cukup besar untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Ketiga negara berpenduduk terbesar tersebut telah melangkah jauh dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi rakyat dan industrinya menyusul negara-negara lain yang berpenduduk kecil namun membutuhkan energi yang sangat banyak. Hal lain yang menguntungkan dalam pemanfaatan energi nuklir adalah kemampuannya memproduksi energi dalam jumlah yang besar tanpa merusak lingkungan dan tentu akan memperlambat terjadinya pemanasan global.
Akankah kita akan selalu berwacana saja tentang pembangunan PLTN? Saat ini sedang bersiap siap untuk membangun PLTN Negara Vietnam, Jordania, Uni Emirat Arab, dan Iran disamping 43 negara lain yang sedang mempertimbangkan untuk membangun PLTN.
Wacana-wacana tentang bahaya nuklir, keselamatan dan ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) barangkali sudah tidak begitu relevan lagi untuk dijadikan alasan tidak membangun PLTN mengingat teknologi nuklir sudah berkembang demikian cepatnya dan kesulitan SDM dapat diatasi dengan perencanaan yang matang. Kawasan Pusat Pengembangan Teknologi Nuklir di Serpong merupakan salah satu wujud perencanaan SDM nuklir di Indonesia, sedang untuk kegiatan non-nuklir dapat dilakukan oleh Departemen lain yang terkait.
Semoga rencana pembangunan PLTN akan terus berlanjut bagi percepatan kesejahteraan bangsa yang keputusan pemanfaatannya ada ditangan pemerintah dan masyarakat. BATAN sebagai pelayan masyarakat dalam promosi teknologi nuklir telah menugaskan kami untuk kedua kalinya di IAEA adalah dalam kaitan dengan persiapan teknis di bidang nuklir bila pemerintah dan masyarakat nanti memutuskan untuk membangun PLTN. Saat ini sudah ada 6 orang inspektur internasional safeguards nuklir yang berasal dari BATAN dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang bekerja di IAEA. Atas dukungan teman-teman di IAEA dan Tim Infrastruktur dan Pre Feasibility Study semoga kami dapat melakukan tugas ini dengan baik.
Salam menuju perubahan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara yang pantas memiliki teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) bagi kesejahteraan masyarakat dan tujuan-tujuan damai.
Read More...