Senin, 09 Juni 2008

MANAJEMEN RISIKO

PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO YANG TERINTEGRASI
DALAM INDUSTRI PLTN.


Sejalan dengan perkembangan teknologi dewasa ini, kompetisi di antara berbagai jenis dan bentuk industri sangat ditentukan oleh tingkat kehandalan industri itu sendiri dalam beroperasi, keselamatan kerja dan lingkungan, dan ekonomi. Instalasi yang banyak mengalami kegagalan operasi, berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, dan tidak fleksibel terhadap fluktuasi perekonomian umumnya tidak akan dapat bertahan lama dan akhirnya gulung tikar. Hal ini akan berdampak terhadap hilangnya seluruh investasi yang sudah dikeluarkan.
Untuk menghindari terjadinya kerugian semacam ini, maka salah satu alat yang sangat efektif digunakan pada industri-industri adalah dengan menerapan manajemen risiko dalam perusahaan tersebut.[1, 2] Walaupun secara defenisi pengertian manajemen risiko dapat diartikan dalam bentuk yang berbeda-beda, namun secara umum pengertiannya mengandung arti langkah-langkah yang diambil untuk mencegah dan atau mengurangi risiko tersebut. Tentu langkah ini akan diambil setelah terlebih dahulu melakukan analisis risiko terhadap kejadian rugi atau kecelakaan yang diperkirakan dapat timbul.
Industri Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir adalah suatu industri pembangkit listrik yang menggunakan panas dari reaktor nuklir untuk memutar turbin dan membangkitkan energi listrik Generator, untuk kemudian didistribusikan ke pemakai. Berbagai potensi risiko dapat saja terjadi dalam pengoperasian industri nuklir, namun dengan menerapkan manajemen risiko berbagai potensi risiko ini dapat dicegah atau dikurangi. Itu sebabnya berbagai negara termasuk negara maju tetap menggunakan energi nuklir, walaupun berberapa kejadian kecelakaan nuklir seperti Three Miles Island dan Chernobyl terjadi. Di Amerika Serikat, 19,33% dari energinya berasal dari nuklir, Inggris 19,86%, Rusia 15,78%, Cina 2,03%, Perancis 78,45%, Jerman 30.98%, Jepang 45%, dan lain-lain di lebih dari 30 negara [3]
Dalam artikel ini penulis mengajak pembaca untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya penerapan manajemen risiko pada suatu industri nuklir dan bagaimana integrasinya dengan aspek produksi, finansial dan kebijakan strategis. Secara sistematik tulisan ini akan menguraikan tentang pembangkit listrik tenaga nuklir dan potensi risiko yang terkait, manajemen risiko terkait keselamatan, manajemen risiko yang terintegrasi, dan penutup.


Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan Potensi Risiko Yang Terkait

Salah satu jenis reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir yang banyak digunakan adalah reaktor jenis reaktor air ringan bertekanan (pressurized water reaktor, PWR), dengan komponen utama terdiri dari teras reaktor (fuel core), bejana tekan (pressure vessel) , batang kendali (control rod), kendali tekanan (pressurizer), pembangkit uap (steam generator). Teras reaktor yaitu susunan bahan bakar uranium sekaligus tempat terjadinya reaksi fisi yang menghasilkan energi dan bahan radionuklida yang sangat bersifat radioaktif. Komponen bejana tekan (pressure vessel), yaitu bejana tempat teras dan pendingin teras berada. Bejana ini diberi tekanan sedemikian rupa, sehingga pendingin tidak mengalami pendidihan sebelum sampai ke komponen pembangkit uap (steam generator).
Pada pembangkit uap, pendingin primer dengan suhu dan tekanan tinggi berubah menjadi uap untuk disalurkan ke turbin. Batang kendali berfungsi untuk mengendalikan daya reaktor dalam kondisi transient maupun tunak atau steady state. Komponen lain berupa kendali tekanan atau pressurizer digunakan untuk mengendalikan tekanan yang ada pada bejana tekan melalui dinamika fluktuasi ketinggian pendingin pada tabung pengontrol tekanan (pressurizer). Seluruh komponen reaktor dikungkung dalam suatu pengungkung atau sungkup (containment) untuk menghindarkan pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan, bila terjadi kecelakaan. Komponen lain di luar sungkup reaktor adalah turbin, generator yang digunakan untuk membangkitkan listrik, dan komponen kondensor beserta pompa feed waternya untuk sirkulasi air pendingin ke pembangkit uap.
Sebagai suatu instalasi yang memiliki banyak sistem dan komponen, maka kegagalan suatu komponen dapat merambat ke dalam sistem dimana komponen tersebut berada. Apabila kegagalan komponen tersebut menyebabkan kegagalan pada sistem keselamatan maka risiko terjadi kecelakaan tidak dapat dihindari. Pada industri nuklir, kejadian kecelakaan yang paling membahayakan dan harus dihindari adalah kecelakaan yang menyebabkan kerusakan teras (core damage), karena kerusakan ini dapat berdampak melelehnya teras dan melepaskan bahan radionuklida ke bejana tekan, sungkup, dan bahkan sampai ke lingkungan. Oleh karena itu ukuran untuk menggambarkan kecelakaan pada industri nuklir adalah frekuensi terjadinya kerusakan teras atau core damage frequency (CDR). Dari sisi produksi dan operasi, risiko dapat terjadi oleh ke tidak lancaran pasokan bahan baku berupa bahan bakar nuklir dan hambatan pemasaran listriknya, termasuk manajemen dan organisasi sumber daya manusia, inovasi teknologi, manajemen, manajemen inventory, penanganan dokumen. Dari sisi finansial, pergerakan variable keuangan seperti harga bahan bakar, biaya produksi, kurs mata uang dan suku bunga juga menyebabkan risiko yang tidak kalah pentingnya. Belum lagi risiko-risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan yang strategik seperti perubahan yang mendasar dalam sistem perekonomian, perdagangan dan politik. Seluruh risiko-risiko ini perlu diintegrasikan untuk mendapatkan kinerja PLTN yang paling optimal. Namun demikian, mengingat risiko yang berkaitan dengan keselamatan merupakan risiko yang paling vital dalam penanganannya, maka pada bagian berikut ini, secara khusus akan diuraikan manajemen risiko yang berkaitan dengan keselamatan PLTN.

Manejemen Risiko Terkait Keselamatan

Dalam suatu kecelakaan nuklir, identifikasi sumber-sumber kecelakaan dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu tingkat pertama untuk kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan kerusakan teras, tingkat kedua adalah untuk kejadian-kejadian yang menyebabkan kegagalan sungkup, dan tingkat ke tiga adalah kejadian-kejadian yang menyebabkan dampak radiologi terhadap masyarakat dan lingkungan. Selanjutnya manajemen risiko diuraikan untuk masing-masing tingkat kejadian sebagai berikut ini.

Kerusakan Teras

Berbagai kejadian awal yang dapat menyebabkan kerusakan teras telah diidentifikasi dalam suatu dokumentasi teknis yang dikeluarkan oleh Badan Tenaga Atom International (IAEA).[5] Dalam dokumen tersebut kejadian awal yang dipostulasikan (Postulated Initiating Events) dikelompokkan dalam 8 kelompok jenis kecelakaan yaitu kecelakaan yang disebabkan oleh (1) peningkatan pemindahan panas oleh sistem sekunder, (2) penurunan pemindahan panas oleh sistem sekunder, (3) penurunan laju alir sistem pendingin reaktor, (4) penyimpangan distribusi daya dan reaktivitas, (5) peningkatan kandungan pendingin reaktor, (6) penurunan kandungan sistem reaktor, (7) pelepasan radioaktif dari komponen dan sistem, (8) kondisi transient tanpa pancung. Apabila diuraikan masing-masing kelompok maka akan terdapat lebih dari ratusan skenario kejadian awal yang dapat menyebabkan kecelakaan teras.
Dengan mengacu kepada rancangaan PLTN, maka untuk masing-masing kejadian awal dapat dibangun urutan kejadian berikutnya hingga sampai pada kejadian kerusakan teras. Penggambaran urutan kejadian ini umum disebut sebagai pohon kejadian (Event Tree). Dengan memasukkan nilai probabilitas urutan kejadian-kejadian dalam ”pohon kejadian” tersebut kemudian dapat ditentukan probabilitas atau frekuensi kerusakan teras (CDF) oleh kejadian awal yang diasumsikan. Probabilitas masing-masing kejadian dihitung dengan mengacu kepada laju kegagalan sub sistem sistem atau komponen yang membentuk kejadian-kejadian (events) tersebut, yang tergambar dalam diagram logika suatu pohon kejadian (fault tree).
Metode penghitungan CDF dengan menggunakan Event Trees dan Fault Trees disebut sebagai metode Probability Risk Assessment (PRA) atau sering juga disebut dalam bentuk yang lebih luas sebagai Probability Safety Assessment (PSA).
Pada tingkat kecelakaan yang menyebabkan kerusakan teras ini, maka manajemen risiko dilakukan dengan tujuan memperkecil probabilitas atau frekuensi CDF. Langkah tersebut meliputi penambahan instrumentasi dalam instalasi untuk memperkecil frekuensi kejadian-kejadian yang terdapat pada pohon kejadian tersebut maupun dengan meningkatkan manajemen sistem keselamatan[4]. Dengan penambahan peralatan ini, maka dengan menggunakan metode PSA dapat diperoleh probabilitas CDF yang lebih kecil.
Karena dasar penyusunan Event Tree dan Fault Tree berkaitan dengan desain suatu instalasi, maka manajemen risiko sangat berkaitan dengan peningkatan disain instalasi dan kehandalan komponen yang terlibat dalam membentuk disain tersebut. Dengan penambahan sistem pasif dan redundansi pada fitur keselamatan reaktor generasi ke II, maka CDF pada PLTN generasi ke III berubah dari 10-4 reaktor per tahun menjadi 10-6 – 10-7 reaktor per tahun. Artinya probabilitas terjadinya kecelakaan kerusakan teras menjadi jauh lebih kecil.

Kegagalan sungkup

Terjadinya kerusakan teras tidak selalu menyebabkan lolosnya bahan radionuklida ke lingkungan. Lolosnya bahan radionuklida hanya mungkin terjadi bila kejadian kecelakaan teras diikuti dengan kegagalan pada sistem keselamatan sungkup, yang meliputi sistem isolasi sungkup, sistem pendingin sungkup pasif, injeksi tanki penyimpan air yang terdapat dalam sungkup.[6]
Seperti halnya pada kejadian kerusakan pada teras, langkah-langkah manajemen risiko dilakukan dengan cara yang sama yaitu penggunaan teknologi alternatif maupun penambahan peralatan atau memperkuat keandalan sistem yang terkait dengan pohon kejadian tersebut yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan.

Kerusakan lingkungan

Bila terjadi kerusakan teras dan diikuti oleh kegagalan sungkup, maka akan terjadi penyebaran bahan radioaktif di udara, sebagian akan terdeposisi ke tanah, tersuspensi kembali ke udara, terserap oleh tanaman dan ternak dan akhirnya sampai kepada manusia melalui hisapan udara (inhalation), pajanan awan radiasi, makanan, dan melekat ke kulit. Dengan melakukan analisis risiko akan dihasilkan prakiraan sebaran dampak secara spasial yang ditunjukkan dalam bentuk risiko absolut, risiko relatif, grafik frekuensi kejadian fatal FN graph, profile risiko, isoline risiko, dan matrik risiko.
Untuk menghindari banyaknya penduduk terkena pajanan radiologi dengan risiko tinggi maka manajemen risiko yang harus dilakukan adalah merencanakan pemanfaatan ruang (land use) dan penyusunan kesiap siagaan darurat, sebagai lanjutan dari manajemen yang dilakukan untuk kerusakan teras dan kegagalan sungkup [4]. Perencanaan pemanfaatan ruang dilakukan dengan pertimbangan bahwa penduduk di sekitar PLTN adalah penduduk jarang, tersedianya zone-zone kedaruratan Precautionary Protective Action Zone (LPZ) yang dapat dikuasai oleh penguasa instalasi PLTN, Urgent Protective Action Zone (UPZ), Longterm Protective Action Zone (LPZ), dan tidak adanya aktivitas manusia yang dapat mengancam keselamatan penduduk.
Penyusunan kesiap siagaan darurat dilakukan untuk mengantisipasi kejadian darurat yang apabila terjadi langkah-langkah penyelamatan dapat segera dilakukan sehingga dapat memperkecil jumlah korban. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan menyusun organisasi pelaksana kedaruratan, prosedur penangulangan kedaruratan, penyediaan peralatan kedaruratan, personil kedaruatan, latihan kedaruatan dan sistem komunikasi dalam penanggulangan kedaruratan [7,8]. Dalam penanggulangan kedaruratan, usaha memperkecil dampak dilakukan dengan tindakan perlindungan (sheltering), evakuasi (evacuation), relokasi (relocation), dan pelarangan makan makanan yang diduga terkontaminasi, yang pada prinsipnya adalah adalah dengan memperkecil penerimaan dosis yang tinggi, sebelum dilakukan evakuasi[9].
Langkah memperkecil penerimaan dosis dapat pula dilakukan dengan penambahan alat deteksi dini (early detection) adanya pajanan (exposure) radiasi yang sampai ke lingkungan. Semakin cepat terdeteksi semakin kecil penduduk mendapatkan pajanan radiasi sebelum di evakuasi.
Dengan indikasi peringatan ini maka langkah-langkah emergency response harus segera dilakukan agar penduduk terhindar dari akumulasi radionuklida yang lebih besar. Besarnya akumulasi sangat tergantung pada besarnya sumber yang terlepas, arah dan kecepatan angin. Oleh karena itu diperlukan peralatan untuk mencatat arah dan kecepatan angin sehingga operator dapat memprediksi besar dosis yang diterima penduduk berikut langkah-langkah pencegahan.

Manajemen Risiko terintegrasi untuk peningkatan kinerja PLTN


Keselamatan instalasi PLTN dan lingkungan yang ditandai dengan kecilnya frekuensi maupun dampak suatu kecelakaan merupakan hal yang sangat vital dalam pengoperasian suatu PLTN. Akan tetapi pertimbangan kelancaran produksi atau operasi, komersial atau finansial, dan kebijakan strategis merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya untuk menjadi pertimbangan. Oleh karena itu perlu dilakukan integrasi manajemen risiko di antara ke empat faktor tersebut.
Seperti yang telah diuraikan terdahulu, risiko yang berkaitan dengan keselamatan pada prinsipnya menyangkut pada penggunaan teknologi nuklir, radiologi, dan lingkungan. Risiko produksi dan operasi adalah risiko yang berkaitan dengan sumber daya dan penjualan produk yang meliputi rancangan produk dan instalasi, proses pemasaran dan produksi, organisasi dan manajemen pekerja, inovasi teknologi, manajemen inventory dan keluaran, penanganan dokumen dan konfigurasi manajemen. Risiko yang berkaitan dengan masalah komersial atau keuangan melibatkan pergerakan dalam variabel keuangan seperti harga sumber daya dan produk akhir penjualan, perubahan kurs, tingkat suku bunga menimbulkan risiko terhadap organisasi. Sebagai industri nuklir bergerak dari suatu lingkungan yang teratur dan terkontrol ke suatu bentuk penjualan listrik yang kompetitif, maka variabel keuangan ini memegang peranan penting, Misalnya operator instalasi reaktor daya bersaing memberikan listrik dalam satu kesatuan komersial dengan harga yang disepakati dengan kontrak. Risiko yang bersifat strategis berasal dari perubahan yang fundamental dalam bidang ekonomi, komersial atau lingkungan politik, seperti perubahan tipe pemerintahan, perubahan kecedrungan penggunaan dana oleh pemerintah, nasionalisasi, privatisasi, perubahan dalam kompetisi pasar, perubahan oleh sentimen terhadap garis bisnis tertentu, pola kepemilikan, perubahan paturan pada wilayah keselamatan dan pasar.
Disamping melakukan reduksi risiko, manajemen resiko juga dilakukan dengan mentransfer dan retensi resiko[2]. Transfer risiko yang dimaksud adalah memindahkan risiko dari mereka yang akan terkena dampak kepada pihak yang akan menggantikan risiko tersebut dengan membayar harga tertentu. Sedangkan retensi risiko adalah menyisihkan sebagian dana tertentu untuk membiayai sendiri risiko yang akan ditimbulkan suatu instalasi.

Penutup

Manajemen risiko dalam Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir merupakan langkah manajemen yang harus dilakukan agar masyarakat dapat terproteksi dari dampak suatu kecelakaan nuklir. Penerapan manajemen risiko yang mengintegrasikan pertimbangan keselamatan, produksi atau operasi, finansial, dan kebijakan strategis dapat meningkatkan kinerja PLTN sekaligus dapat menegaskan kepada publik tentang langkah-langkah manajemen risiko yang dilakukan terhadap PLTN.

Pustaka:
[1] Salim A. Asuransi dan Manajemen Risiko. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
[2] Darmawi H. Manajemen Risiko. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 2005
[3] IAEA. Nuclear Power Reactor in The World. International Atomic Energy Agency. Vienna. 2005.
[4] IAEA. Guideline for integrated risk assessment and management in large industrial areas. International Atomics Energy Agency. IAEA-TECDOC-994.
[5] IAEA. General Design Safety Principles For Nuclear Power Plants. Safety Series 50-SG-D11.
[6] IAEA. Design of Reactor Containment Systems for Nuclear Power Plants, International Atomics Energy Agency. . SAFETY GUIDE No. NS-G-1.10
[7] Peraturan Pemerintah No. 63, 2000 tentang keselamatan dan kesehatan pemanfaatan radiasi pengion.
[8] Peraturan Pemerintah No. 27, Tahun 2002
[9] IAEA. 1997e. Generic procedures for determining protective actions during reactor accidents. TECDOC-955. IAEA. Vienna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar