Rabu, 19 Januari 2011

PLTN di Kalimantan Tunggu Izin Presiden

Sinar Harapan, 17-Januari 2011. Pontianak-Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, Gubernur Kalimantan Te­ngah, Agustinus Teras Narang, Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek, dan Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Arifin, masih menunggu izin operasional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk merealisasikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Ketua Revitalisasi dan Percepatan Pembangunan Kalimantan, Cornelis, kepada SH baru-baru ini, menjelaskan, para Gubernur se-Kalimantan sudah mengusulkan kepada presiden tentang pentingnya pembangunan PLTN, sebagai salah satu langkah mengantisipasi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat.
Cornelis mengatakan hal itu menanggapi Konsultan Seksi Pengembangan Teknologi Nuklir International Atomic Energy Agency (IAEA), Jupiter S Pane, dari Austria bahwa Indonesia paling siap dari segi sumber daya manusia dan sumber daya alam dalam membangun PLTN.
Jupiter S Pane, sebagaimana dilansir Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, Kamis, 30 Desember 2010, menegaskan,
“Tentang rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia sesungguhnya kita tidak perlu ragu lagi untuk melangkah karena dunia bahu-membahu dalam membantu negara-negara yang berkeinginan membangun PLTN.”
Jupiter S Pane adalah profesional yang ditugaskan Badan Tenaga Atom dan Nuklir Nasional di IAEA yang aktif mempersiapkan berbagai dokumen teknis untuk ke­giatan INIG (Integrated Nuclear Infrastructure Group), seperti International Project in Innovative Nuclear Reactor and Fuel Cycle (INPRO), dan Nuclear Power Technology Development Section (NPTDS) serta Nuclear Power Engineering Section (NPES). INIG adalah tim khusus yang dibentuk oleh IAEA untuk membantu negara-negara berkembang secara sistematis dalam merencanakan pembangunan PLTN.
Diungkapkan Cornelis, presiden diyakini bisa mengambil keputusan terbaik bagi Kalimantan dalam rangka memenuhi kebutuhan ener­gi nasional. Sejak 10 tahun silam, persoalan pem­bangunan PLTN di Kalimantan sudah menjadi salah satu skala prioritas, jadi tidak perlu diragukan lagi.
INIG, lanjut Jupiter, telah membantu membahas status kesiapan infrastruktur ne­gara-negara yang akan membangun PLTN seperti Jordania, Vietnam, Indonesia, dan Thailand melalui misi INIR (Integrated Nuclear Infrastructure Review). Akan ada beberapa negara lagi yang akan ditinjau status kesiapan infrastrukturnya dalam waktu beberapa tahun ke depan ini.
Hal ini berkaitan de­ngan fakta bahwa 60 negara berkembang telah menunjukkan keinginan membangun PLTN dan diperkirakan 15-30 PLTN dibangun sebelum 2030, seperti disampaikan Direktur Jenderal IAEA pada Konferensi Umum ke-54. (aju)


Berita ini dikutip dari:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/pltn-di-kalimantan-tunggu-izin-presiden/?tx_ttnews%5Byears%5D=2011&tx_ttnews%5Bmonths%5D=01&tx_ttnews%5Bdays%5D=17&cHash=2497cb5f10
Read More...

IAEA SIAP BANTU INDONESIA BANGUN PLTN

Jakarta, 30/12 (ANTARA) - Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) selalu siap membantu negara-negara yang berkeinginan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), termasuk Indonesia.

"Tentang rencana pembangunan PLTN pertama di Indonesia sesungguhnya kita tidak perlu ragu lagi untuk melangkah karena dunia bahu-membahu dalam membantu negara-negara yang berkeinginan membangun PLTN," kata Konsultan pada Seksi Pengembangan Teknologi Nuklir IAEA, Jupiter S. Pane di Austria, dalam wawancara dengan surat elektronik, Kamis.
IAEA telah membentuk suatu tim khusus yang disebut Integrated Nuclear infrastructure Group (INIG) yang tugasnya khusus untuk membantu negara-negara berkembang secara sistematis dalam merencanakan pembangunan PLTN-nya, ujar Jupiter Pane.

INIG, lanjut Jupiter S Pane , telah membantu membahas status kesiapan infrastruktur negara-negara yang akan membangun PLTN seperti Jordania, Vietnam, Indonesia, dan Thailand melalui Misi INIR (Integrated Nuclear Infrastructure Review).

"Akan ada beberapa negara lagi yang akan di-"review" ( dipelajari, red) status kesiapan infrastrukturnya dalam waktu beberapa tahun ke depan ini," ujarnya.

Hal ini, lanjut dia, terkait dengan fakta bahwa 60 negara berkembang telah menunjukkan keinginannya untuk membangun PLTN dan diperkirakan 15-30 PLTN akan dibangun sebelum tahun 2030, seperti disampaikan Direktur jenderal IAEA pada Konferensi Umum ke-54.

Review status kesiapan infrastruktur Indonesia fase 1 telah dilakukan pada pertengahan Oktober 2009, dan hasilnya menunjukkan kesiapan Indonesia untuk melanjutkan persiapan ke fase 2.

Fase 2 itu yaitu melakukan persiapan untuk menyusun spesifikasi lelang (Bid Information Specification) sambil memperkuat ke 19 isu infrastruktur nuklir.
Namun sebelum melangkah pada pekerjaan tersebut harus ada keputusan "Go Nuclear" dari pemerintah terlebih dahulu serta tingkat penerimaan masyarakat yang cukup, ujarnya.

"Kekhawatiran tentang keselamatan PLTN hendaknya tidak lagi menjadi momok yang berlebihan, karena melalui Badan IAEA ini dunia bekerja untuk tidak pernah lalai mencegah terjadinya kecelakaan nuklir," kata Jupiter.

Kegagalan di suatu negara dalam mempertahankan keselamatan PLTN akan berdampak pada kumunitas nuklir dunia. Karena itu IAEA membantu negara-negara berkembang membangun PLTN-nya agar aman dan memenuhi faktor keselamatan serta digunakan untuk tujuan damai.

Jupiter S Pane merupakan tenaga profesional yang ditugaskan Batan (Badan Tenaga Atom dan Nuklir Nasional) di IAEA yang aktif mempersiapkan berbagai dokumen teknis untuk digunakan pada kegiatan INIG, Internasional Project on Innovative Nuclear Reactor and Fuel Cycle (INPRO) dan Nuclear Power Technology Development Section (NPTDS) serta Nuclear Power Engineering Section (NPES).

***2***
(D009)/B/A011)
(T.D009/B/A011/A011) 30-12-2010 08:42:45

Tulisan ini dikutp dari

http://www.antaranews.com/berita/1293673577/iaea-siap-bantu-indonesia-bangun-pltn




Read More...

INDONESIA PERLU MENGEMBANGKAN SENDIRI TEKNOLOGI REAKTOR DAYA UKURAN KECIL MENENGAH

Oleh: Dr. Jupiter Sitorus Pane

Ditengah usaha untuk mencari solusi permasalah enegi masa depan salah satu solusi yang ditawarkan oleh masyarakat nuklir internasional adalah menggunakan energi nuklir sebagai salah satu sumber pembangkit listrik. Berbagai aktivitas telah dilakukan untuk meyakinkan dunia bahwa solusi dengan energi nuklir merupakan pilihan yang tepat, bahkan dibeberapa Negara persentasi penggunaan enegi nuklir melebihi dari persentasi sumber energi lainnya di Negara tersebut seperti Lithuania (76,23%), Perancis (75.17%), Slovakia (53.5%), Korea (34,79%), Japan (23%) dan US(20.17 %[1].Akan tetapi dalam kenyataannya kekuatiran masyarakat terhadap energi nuklir terus berlanjut denan pernyataan bahwa energi nuklir itu terlalu mahal, tidak aman, pengelolaan limbah yang belum jelas, ada kemungkinan disalah gunakan untuk tujuan proliferasi, dapat menjadi target teroris dan tidak ramah lingkungan dan berkelanjutan. Untuk menjawab tantangan ini Badan Tenaga Atom Internasional telah membentuk Kelompok yang disebut International Project on Innovative Reactor and Fuel Cycle (INPRO) yang tugasnya menjadi fasilitator untuk mendorong perkembangan teknologi reaktor daya yang mampu menjawab berbagai kekuatiran masyarakat tersebut melalui penerapan prinsip-prinsip ekonomi, keselamatan fasilitas reaktor nuklir dan siklus bahan bakar, pengelolaan limbah, resistansi proliferasi, proteksi fisik dan lingkungan[2].
Penerapan prinsip INPRO tersebut sangat sesuai dengan konsep dikembangkannya teknologi reaktor daya ukuran kecil dan menengah (small medium sized reactor/SMR) untuk menjawab tantangan kebutuhan negara-negara kecil akan listrik namun terkendala dengan kemampuan ekonomi yang rendah, ketersediaan jaringan listrik yang kecil dan kebutuhan energi yang tidak terlalu besar. Pada tahun 2006, lebih dari 50 konsep dan rancangan reaktor innovative ukuran kecil dan menengah telah dan sedang dikembangkan baik sebagai program Nasional maupun Internasional, termasuk diantaranya Argentina, Brazil, China, Croatia, Perancis, India, Indonesia, Turkey, Italy, Japan, Korea, Morrocco, Federasi Rusia, Afrika Selatan, America dan Vietnam [3]. Peluang untuk pengembangan teknologi SMR ini masih sangat luas dan sampai sekarang masih beberapa teknologi saja yang sudah maju dalam rancangan dan dalam proses perijinan antara lain SMART(Korea), NuScale, mPower, IRIS (USA), dan CAREM (Argentina), KLT-40 (Rusia). Beberapa teknologi reaktor lain masih dalam taraf rancangan konsep.
Indonesia sebagai Negara yang terdiri dari 17.000 pulau besar dan kecil yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan Negara yang patut mempertimbangkan pengunaan teknologi reaktor SMR untuk pasokan energi ke pulau-pulau kecil dan terpencil atau kelompok pulau-pulau untuk mendukung roda pembangunannya. Sebagai contoh, saat ini provinsi Kepulauan Bangka Belitung sedang giat-giatnya merencanakan penggunaan energi nuklir sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kekurangan energinya. Bila dilihat dari kebutuhan domestik saja maka Provinsi Bangka Belitung akan memerlukan pembangkit listrik nuklir SMR, tetapi karena Bangka Belitung berkeinginan menjadi pemasok Listrik ke Sumatra dan Jawa maka Provinsi Bagka Belitung perlu membangun beberapa Reaktor Nuklir ukuran Besar (1000 MWe). Masih banyak pulau-pulau kecil dan terpencil di Indonesia yang perlu mendapat pasokan listrik untuk pembangunannya sehingga Indoensia dapat menjadi pasar yang potensial bagi penggunaan teknologi reaktor SMR.
Melihat perkembangan teknologi SMR yang masih bertumbuh dan adanya peluang pasar yang cukup potensial di Indonesia, perlu dipikirkan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu perancang dan pengembang teknologi reaktor SMR bukan lagi sebagai penerima teknologi saja. Hal ini sangat memungkinkan karena Indonesia telah memiliki pengalaman yang panjang dalam bidang Teknologi Reaktor Riset dengan memiliki tiga Reaktor Riset di Bandung, Jogyakarta dan Serpong. Secara khusus, Indonesia (dalam hal ini diwakili BATAN) juga telah memiliki satu Pusat Pengembangan Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir dan Pusat Penelitian Nuklir lain di BATAN yang sudah melakukan berbagai penelitian terkait teknologi reaktor daya SMR. Keterlibatan Jurusan Fisika ITB dalam collaborative project dengan Badan Tenaga Atom Internasional, IAEA dalam pengembangan Teknologi Reaktor Daya SMR yang dimotori oleh Prof. Dr. Zakie Su’ud[4] telah pula memberi kontribusi terhadap kesiapan tenaga professional Indonesia menyongsong penguasaan teknologi reaktor. Saat ini seorang professional nuklir Indonesia Dr. Muhammad Hadid Subki merupakan seorang pemimpin teknis bidang Reaktor Daya SMR di Badan Tenaga Atom Internasional di Wina Austria.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah penelitian dan pengembangan nuklir di Indonesia siap menjadi penyedia teknologi atau hanya sekedar menjadi penerima teknologi sementara pasar teknologi itu sendiri ada di Indonesia. Umumnya Negara-negara yang banyak menggunakan energi nuklir sebagai sumber energinya secara otomatis merupakan Negara penyedia teknologi nuklir itu sendiri. Korea Selatan pada saat memulai program PLTNnya (Nuclear Power Plan) pada tahun 1972 adalah Negara penerima teknologi nuklir dari USA tetapi sekarang Korea sudah berubah menjadi Negara pemasok teknologi nuklir nomor satu di dunia. Hal ini dapat terjadi karena sejak pembangunan PLTN pertamanya Korea Selatan mendapat alih teknologi dari USA sebagai bagian dari perjanjian kontrak.
Peluang Indonesia untuk menjadi mengembangkan teknologi nuklir SMR masih terbuka lebar melalui keterlibatan aktif dalam collaborative project dengan kelompok International Project on Innovative Reactor Technology and Fuel Cycle (INPRO) maupun dalam kegiatan Coordination Research Program dengan kelompok Teknologi Reactor SMR di IAEA. Dengan kegiatan ini tentu masyarakat semakin diyakinkan akan kemampuan sumberdaya manusia Indonesia untuk memasuki era nuklir di Indonesia.
Penulis adalah konsultan yang pernah bekerja di Badan Tenaga Atom International (IAEA) pada tahun 2009 dan 2010, sekarang bekerja sebagai peneliti di Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir-BATAN, Serpong.


Reference:
[1] IAEA, Power Reactor Information System, Vienna, 2010. http://www.iaea.org/programmes/a2/index.html
[2] IAEA, Guidance for the Applicationof an Assessment Methodology for Innovative Nuclear Energy Systems INPRO Manual —Overview of the Methodology
[3] IAEA, Status of Innovative Small and Medium Sized Reactor Design 2005: Reactor with conventional RefuellingSchemes. IAEA-TECDOC-1485, Vienna (2006).
[4] SU’UD, Z., The role of nuclear energy in Indonesia in the 21st Century, GENES4/ANP2003, p 1227(Proc. Int. Conf., Kyoto, Japan, 2003
Read More...